BADAI DISRUPSI MENERPA DUNIA PENDIDIKAN
Penulis : Irene M.M.Ermaya/Pengawas SMK

By Dra. Irene M.M.Ermaya,M.Pd 17 Jun 2021, 10:09:44 WIB Pendidikan
BADAI DISRUPSI MENERPA DUNIA PENDIDIKAN

Gambar : ilustrasi : disrupsi


Memasuki era industri 4.0 membawa kita pada sebuah perubahan yang bukan sekedar perubahan, tetapi perubahan dalam tatanan yang tadinya dianggap telah baku. Perubahan yang belakangan banyak dibahas oleh pengamat bisnis, ekonomi, bahkan pengamat pendidikan... yaitu DISRUPSI, yang bukan lagi sebuah teori, tetapi telah berevolusi menjadi strategi yang vital dan menuntut perubahan mindset.

Istilah  disrupsi sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi diperkenalkan kembali oleh  guru besar Harvard Business School, Clayton M. Christensen, dalam  bukunya yang  berjudul “The Innovator Dilemma” (1997). Buku ini berisi tentang persaingan dalam dunia bisnis, khususnya tentang inovasi. Pada tahun 2014 Christensen juga pernah memprediksi bahwa 50% dari seluruh Universitas di AS akan bangkrut dalam 10-15 tahun kedepan disebabkan oleh terdisrupsinya universitas-universitas tersebut oleh beragam terobosan inovasi, seperti pembelajaran secara daring (online) maupun MOOCs (Massive Online Open Courses).

Teori disrupsi banyak dipergunakan untuk menjelaskan perubahan besar, tidak semata pada dunia bisnis, tetapi juga komunikasi. Christensen sendiri tidak secara langsung mengaitkan disrupsi dengan dunia digital. Tetapi banyak ahli (seperti Paul Paetz) meyakini bahwa dunia digital mempercepat proses disrupsi, demikian juga Rhenald Kasali mengatakan dalam bukunya “Disruption”(2017), Dunia tak lagi bergerak secara linear dan bertahap secara perlahan seperti cara kita berpikir. Dunia akan bergerak sangat cepat dan semakin cepat.

Dunia pendidikan tidak luput dari kekuatan badai disrupsi, Prof. Christensen bukanlah satu-satunya yang berbicara tentang disrupsi yang akan menerpa dunia pendidikan kita, dimana :

  • 65% anak-anak yang saat ini sedang bersekolah kelak akan memasuki pekerjaan-pekerjaan yang belum ada saat ini, bahkan mungkin belum terpikirkan oleh kita saat ini.
  • 42% pekerjaan manusia akan digantikan oleh robot dan Artificial Intelligence (AI) pada tahun 2022 (World Economic Forum,2018)
  • 60% Universitas di seluruh dunia akan menggunakan teknologi Virtual Reality (VR) pada tahun 2021 untuk menghasilkan lingkungan pembelajaran yang imersif (Gartner,2018)

Dari pengalaman yang ada , dunia pendidikan sangat sulit berubah dalam menghadapi badai disrupsi, sehingga hasil dari proses pendidikan selama ini tidak mengalami perubahan dari waktu-ke waktu, sekalipun kurikulum dirubah terus menerus, pendidikan masih berkutat pada teacher center, menjejalkan  berbagai teori pada otak anak-anak dengan  harapan mendapatkan nilai tinggi saat ujian kelulusan, tanpa merasa terbebani dengan lulusan  SMK yang  seharusnya mampu berwira usaha, atau mahir menggunakan peralatan pada industri, mampu beradaptasi dengan perubahan, tapi yang kita temukan adalah tingginya tingkat pengangguran SMK dibandingkan jenjang lainnya. Belum lagi kita bicara tamatan SMA jurusan bahasa, selama 3 tahun ditambah sejak SMP belajar bahasa Inggris, tetapi berapa persen lulusannya mampu  berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing dengan baik? Demikian juga dengan jurusan lainnya. Permasalahan ini tidak bisa kita salahkan pada guru maupun sekolah, tetapi sistem yang ada membuat mereka tidak mampu keluar dari mindset yang membelenggu bertahun-tahun, sekolah “dituntut” mampu meluluskan siswanya 100%, sehingga sekolah lebih fokus bagaimana cara meluluskan siswanya dibandingkan dengan bagaimana sekolah berpikir agar siswanya mampu beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan mereka kelas. Butuh keberanian untuk merubah mindset dari tingkat sekolah hingga pemerintah dan orang tua.

Prof. DR. Vincent Gaspersz mengatakan bahwa dalam berpikir sistem (system Thinking), kita harus memulai dari GOAL /tujuan akhir (pengguna lulusan SMK atau tuntutan pasar), dan selalu melakukan perbaikan berkelanjutan, agar terjadi peningkatan kinerja dan hasil akhir secara terus menerus sehingga menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan/pekerjaan/studi lanjut. Oleh sebab itu dunia pendidikan (satuan pendidikan) harus mampu melihat apa tujuan goal (kompetensi kejuruannya) akhir dari satuan pendidikan saat ini, misalkan SMK A dengan program keahlian Desain Komunikasi Visual, tentu berbeda goalnya dengan program keahlian Teknik otomotif. 

Dunia pendidikan dihadapi dengan tiga gelombang disrupsi (Yuswohadi.com) : Disrupsi Milenial, Disrupsi Teknologi dan Disrupsi Kompetensi. Disrupsi milenial tidak terlepas dengan disrupsi teknologi, karena disrupsi teknologi mempengaruhi pasar dari sisi penawaran (supply side); sementara disrupsi milenial dari sisi permintaan (demand side). Anak-anak  milenial adalah generasi yang highly-mobile, apps-dependent, dan selalu terhubung secara online (“always connected”). Mereka begitu cepat menerima dan berbagi informasi melalui jejaring sosial. Mereka adalah self-learner yang selalu mencari sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan melalui YouTube, kanal-kanal pendidikan online atau mesin pencari lainnya.

Sedangkan disrupsi kompetensi, menuntut dengan kemajuan teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga 3D printing, maka pekerjaan akan bergeser dari manual occupations dan routine/repetitive jobs (pekerjaan rutin) ke cognitive/creative jobs (pekerjaan yang membutuhkan kreativitas). Dan nantinya kesuksesan ditentukan oleh kemampuan kolaborasi “human+robot”. Itu dari sisi hard skill. Untuk soft skill, Tony Wagner (2008) merumuskan “Seven Survival Skills for 21st Century” yaitu: critical thinking and probelm solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah); collaboration across network (kolaborasi dengan lintas jaringan) ; agility and adaptability (kelihaian dan kemampuan beradaptasi); Initiative and entrepreneurship (memiliki inisiatif dan berjiwa kewirausahaan); Accessing and analysing information (mampu mengakses dan menganalisis informasi); effective communication; curiosity and imagination (mampu berkomunikasi secara efektif, rasa ingin tahu dan berimajinasi). Masalahnya, tujuh ketrampilan itu minim diajarkan di sekolah-sekolah kita saat ini sehingga sekolah-sekolah kita harus meredefinisi kurikulumnya dengan mengakomodasi ketrampilan baru tersebut.

Saatnya dunia pendidikan, baik itu satuan pendidikan, UPTD/cabang dinas , maupun Dinas Pendidikan yang masih berkutat dengan konsep pendidikan hanya untuk mengejar nilai, lulus 100%, masuk perguruan tinggi ternama dan berakhir dengan persentasi pengangguran yang cukup tinggi setiap tahunnya, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dan disrupsi yang akan menerpa pada lapangan kerja, dimana 5-10 tahun kedepan kompetensi-kompetensi tertentu akan tidak digunakan lagi, sehingga menghasilkan pengangguran terdidik, bila kemampuan beradaptasi dan self learning tidak dibangun mulai dari sekarang.

 

 

 

 

 

 




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment