Menyalakan Potensi, Bukan Mengisi Wadah
Reformasi Belajar di SMK sekarang juga

By Dra. Irene M.M.Ermaya,M.Pd 12 Mei 2025, 15:51:32 WIB SMK BISA
Menyalakan Potensi, Bukan Mengisi Wadah

Gambar : ilustrasi


 

Sebagai pengawas sekolah menengah kejuruan, saya menyaksikan secara langsung berbagai tantangan yang masih membelenggu efektivitas pembelajaran di SMK. Salah satu yang paling mencolok adalah pola pengajaran yang masih dilakukan secara parsial, terutama dalam mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Sejarah, PPKn, Matematika, dan Bahasa Inggris, Sejarah. Mata pelajaran ini masih sering diajarkan seolah-olah terlepas dari dunia nyata siswa, padahal seharusnya sudah terintegrasi dengan pelajaran produktif yang menjadi ciri khas SMK.

Ini terjadi karena kita terlalu lama terjebak dalam paradigma teaching, bukan learning. Teaching berfokus pada guru sebagai pusat pengetahuan, yang mentransfer informasi kepada siswa. Dalam model ini, guru aktif, siswa pasif. Sedangkan learning menempatkan siswa sebagai subjek belajar, yang aktif membangun pemahaman melalui eksplorasi, diskusi, proyek nyata, dan refleksi. Guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing, pemberi umpan balik, aktivator, maupun kolaborator.

Kondisi ini mengakibatkan siswa tidak mendapatkan pengalaman belajar yang kontekstual dan bermakna. Padahal, dalam kurikulum SMK berbasis teaching factory dan pendekatan Project Based Learning (PjBL), idealnya siswa bukan hanya "mengerjakan proyek" yang ditentukan guru, tetapi terlibat dalam seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Realitas di lapangan masih menunjukkan bahwa guru memegang penuh kendali atas proyek, sementara siswa hanya sebagai pelaksana teknis. Ini menjauhkan mereka dari pengalaman belajar otentik yang melibatkan pengambilan keputusan, problem solving, dan refleksi diri.

Tantangan ini menjadi semakin penting karena lulusan SMK dituntut untuk memiliki tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga soft skill yang kuat: berpikir kritis, komunikasi efektif, kemampuan berkolaborasi, dan inovasi. Dunia kerja dan industri telah berubah drastis, tidak hanya mencari tenaga kerja yang patuh terhadap instruksi, tetapi mereka yang adaptif, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dalam situasi yang kompleks dan tidak pasti.

Membangun Ekosistem Belajar yang Transformatif

Pertama, guru-guru perlu mengubah paradigma pengajaran dari sekadar transfer pengetahuan menjadi fasilitator, aktivator, pembangun budaya, maupun kolaborator dalam proses pembelajaran. Ini menuntut guru memiliki growth mindset, yakni keyakinan bahwa kemampuan siswa dapat dikembangkan melalui proses belajar yang bermakna. Dengan mindset ini, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi menciptakan pengalaman belajar yang menantang, menyenangkan, dan menumbuhkan rasa ingin tahu. Guru juga harus diberdayakan sebagai perancang pengalaman belajar, bukan hanya pelaksana kurikulum.

Kedua, integrasi kurikulum lintas mata pelajaran harus diperkuat. Misalnya, pelajaran Bahasa Indonesia dapat dikaitkan dengan penyusunan proposal bisnis untuk pelajaran Projek Kreatif dan Kewirausahaan (PKK), atau Matematika dihubungkan dengan penghitungan biaya produksi dan break-even point dalam simulasi wirausaha. Bahasa Inggris dapat diposisikan sebagai sarana komunikasi profesional dalam menyusun dokumen bisnis atau presentasi proyek. Proyek-proyek ini harus berasal dari konteks nyata industri atau dunia kerja yang relevan dengan konsentrasi keahlian siswa.

Ketiga, guru dan siswa perlu dibekali pendekatan design thinking dalam pembelajaran. Metode ini menempatkan empati sebagai fondasi: siswa diajak memahami masalah nyata dari sudut pandang pengguna atau pelanggan, kemudian merancang solusi kreatif dan mengujinya secara iteratif. Dengan design thinking, siswa akan terbiasa memecahkan masalah secara kolaboratif dan terstruktur, serta mengembangkan pemikiran sistemik dalam menyelesaikan tantangan-tantangan kompleks.

Keempat, kepala sekolah perlu mendorong kolaborasi antarguru lintas mata pelajaran dan tim produktif agar tidak terjadi sekat-sekat pembelajaran. Ini bisa difasilitasi melalui learning community guru di sekolah, di mana setiap guru memiliki ruang untuk berbagi praktik baik, melakukan refleksi bersama, dan merancang proyek lintas disiplin. Selain itu, pelatihan berkelanjutan berbasis praktik lapangan (in-house training, coaching, lesson study) sangat dibutuhkan agar perubahan mindset dan pedagogi benar-benar terjadi.

Kelima, evaluasi pembelajaran harus mencerminkan proses dan hasil belajar siswa secara holistik, bukan hanya produk akhir. Penilaian otentik yang menilai proses berpikir, kolaborasi, kreativitas, dan refleksi siswa selama proyek berlangsung harus mendapat porsi yang seimbang. Penilaian bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi juga melibatkan siswa dalam proses evaluasi diri (self-assessment) dan penilaian sejawat (peer-assessment), sehingga mereka lebih sadar terhadap proses belajarnya sendiri.

Keenam, Dinas Pendidikan dan pengawas/Pendamping  sekolah harus memperkuat sistem pendampingan dan supervisi akademik yang fokus pada kualitas pembelajaran berbasis proyek. Tidak cukup hanya mengawasi administrasi, pengawas/Pendamping harus aktif menjadi mitra reflektif bagi guru dan kepala sekolah dalam membangun budaya belajar yang progresif.

Dengan pendekatan ini, SMK bukan lagi tempat "mengajar untuk menyelesaikan kurikulum," melainkan tempat belajar yang menghidupkan semangat inovasi, kolaborasi, dan kompetensi kerja abad 21. Sudah saatnya kita berhenti mengajarkan mata pelajaran secara terpisah dan mulai menumbuhkan siswa sebagai individu utuh yang siap berkarya di dunia nyata. Masa depan SMK ada di tangan kita pendidik yang berani berubah, berani mencoba, dan berani bermakna. (Irene)

 




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment