Saat Kompetensi Guru Terjebak di Kursi Struktural di Negri Liliput
Pesan untuk Raja Liliput

By Dra. Irene M.M.Ermaya,M.Pd 07 Mei 2025, 21:15:37 WIB Pendidikan
Saat Kompetensi Guru Terjebak di Kursi Struktural di Negri Liliput

Gambar : ilustrasi


Di balik wajah birokrasi pendidikan Negri Liliput, tersembunyi satu ironi yang sudah lama terjadi namun jarang dibicarakan secara terbuka: guru-guru dengan integritas tinggi, kepemimpinan alami, dan kapasitas pembaruan justru dipindahkan ke jabatan struktural di dinas pendidikan. Sebuah promosi, katanya. Sebuah bentuk penghargaan. Namun, diam-diam, itu juga bisa menjadi bentuk pelucutan daya.

Fenomena ini marak di banyak daerah di Negri Liliput. Guru yang tadinya dikenal mampu menggerakkan guru lain, menyulut perubahan budaya sekolah, membentuk komunitas belajar yang hidup, dan menembus sekat-sekat konvensi pembelajaran, malah 'dinaikkan' ke posisi yang membuatnya justru jauh dari murid, jauh dari ruang kelas, bahkan jauh dari realitas sekolah itu sendiri.

Di atas kertas, niat menempatkan guru hebat ke dalam struktur dinas pendidikan memang masuk akal. Pemerintah ingin memastikan bahwa kebijakan disusun dan dijalankan oleh mereka yang tahu akar persoalan. Namun, realitas birokrasi kita masih jauh dari ideal. Dinas pendidikan, di banyak daerah, bukan tempat lahirnya pembaruan. Ia lebih mirip kantor pengelola program dan pelaksana administratif, bukan ruang strategis pembelajaran.

Alih-alih menjadi policy maker atau change leader, guru kompeten itu justru menjadi operator sistem. Tugas hariannya meliputi menyusun laporan, mengejar target anggaran, mengoordinasikan pelatihan (yang kadang formalitas), atau menghadiri rapat kebijakan yang jauh dari konteks pedagogis. Kepakaran dan kepemimpinan yang seharusnya menyentuh sekolah, terkubur oleh tumpukan berkas dan rutinitas administratif.

Setiap guru hebat yang ditarik dari sekolah dan ditempatkan di struktur, berarti satu sekolah kehilangan figur pemimpin pembelajaran. Apalagi bila ia tidak digantikan oleh figur sepadan. Maka, yang terjadi bukan regenerasi, melainkan kevakuman.

Kepemimpinan pedagogis melemah. Sekolah tanpa pemimpin yang paham lapangan hanya akan menjadi operator kurikulum, bukan penggerak kualitas.

Pembinaan guru mandek. Tanpa teladan langsung dan mentoring nyata, guru muda kesulitan berkembang. Mereka butuh figur senior yang tetap hadir di sekolah, bukan hanya lewat instruksi formal.

Inovasi mati sebelum tumbuh. Banyak sekolah kehilangan nyali untuk bereksperimen karena tidak ada figur yang melindungi ruang belajar dari tekanan birokrasi.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan?

Pertama, reformulasi jabatan strategis pendidikan. Tak semua jabatan strategis harus bersifat struktural. Perlu dikembangkan model “pemimpin pembelajaran regional” yang tetap aktif di sekolah, namun memiliki mandat pembinaan lintas satuan pendidikan.

Kedua, perkuat jabatan kepala sekolah sebagai karier tertinggi guru. Kepala sekolah bukan sekadar posisi administratif, tapi titik tertinggi karier profesional seorang guru. Seharusnya, guru terbaik naik panggung, bukan ditarik ke balik panggung.

Ketiga, bangun career ladder (jenjang karir)  bagi guru yang tetap berada di sekolah. Pemerintah bisa menyiapkan skema guru utama nasional atau mentor guru kabupaten dengan insentif karier dan finansial, tanpa menarik mereka dari sekolah.

Keempat, desentralisasi ruang inovasi. Sekolah harus jadi ekosistem otonom yang bisa bereksperimen, didampingi bukan oleh pejabat, tetapi oleh praktisi sejati yang telah membuktikan dampaknya di lapangan.

Jika kita percaya bahwa kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas guru, maka jangan tarik mereka dari ruang yang justru menjadi medan pengaruh mereka.

Sekolah adalah panggung utama perubahan. Jangan biarkan aktor terbaiknya menghilang dari sana.

Kebijakan yang baik bukan soal siapa duduk di mana, tapi siapa bekerja di tempat yang paling tepat. Dan tempat yang paling tepat bagi guru yang mampu menggerakkan dalam memimpin   adalah di tengah murid, di samping guru lain, dan di depan perubahan sekolah.




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

Write a comment

Ada 1 Komentar untuk Berita Ini

View all comments

Write a comment